Rabu, 16 Mei 2012

Teori Konflik Lewis A. Coser

Lewis A Coser lahir di Berlin, tahun 1913. Ia memusatkan perhatiannya pada kebijakan sosial dan politik. Pasca Perang Dunia II, tamatan Universitas Columbia (1968) ini mengajar di Universitas Chicago dan Universitas Brandeis tempat dimana dia dinobatkan gelar guru besar. Tahun1975 Lewis Coser terpilih menjadi Presiden American Sociological Association (ASA). Coser juga aktif sebagai columnis di berbagai jurnal. Tulisan Coser yang terkenal adalah Greedy Institutions alias Institusi Tamak.

Penulis buku The Functons of Social Conflict ini, mengutip dan mengembangkan gagasan George Simmel untuk kemudian dikembangkan menjadi penjelasan-penjelasan tentang konflik yang menarik. Coser mengkritik dengan cara menghubungkan berbagai gagasan Simmel dengan perkembangan fakta atau fenomena yang terjadi jauh ketika Simmel masih hidup. Ia juga mengkritisi dan membandingkannya dengan gagasan sosiolog-sosiolog klasik. Menambahkan dengan gagasan seperti dinyatakan ahli psikologi seperti Sigmund Freud.

Hal yang menarik dari Coser adalah bahwa ia sangat disiplin dalam satu tema. Coser benar-benar concern pada satu tema-tema konflik, baik konflik tingkat eksternal maupun internal. Ia mampu mengurai konflik dari sisi luar maupun sisi dalam. Jika dihubungkan dengan pendekatan fungsionalisme, nampak ada upaya Coser untuk mengintegrasikan fungionalisme dengan konflik.

Menurut George Ritzer dalam melakukan kombinasi itu, baik teori fungsionalime maupun teori konflik akan lebih kuat ketimbang berdiri sendiri.

Selama lebih dari dua puluh tahun Lewis A. Coser tetap terikat pada model sosiologi dengan tertumpu kepada struktur sosial. Pada saat yang sama dia menunjukkan bahwa model tersebut selalu mengabaikan studi tentang konflik sosial. Berbeda dengan beberapa ahli sosiologi yang menegaskan eksistensi dua perspektif yang berbeda (teori fungsionalis dan teori konflik), Coser mengungkapkan komitmennya pada kemungkinan menyatukan kedua pendekatan tersebut. Coser mengakui beberapa susunan struktural merupakan hasil persetujuan dan konsensus, suatu proses yang ditonjolkan oleh kaum fungsional struktural, tetapi dia juga menunjuk pada proses lain yaitu konflik sosial. Akan tetapi para ahli sosiologi kontemporer sering melihat konflik sebagai penyakit bagi kelompok sosial. Coser memilih untuk menunjukkan berbagai sumbangan konflik yang secara potensial positif yaitu membentuk serta mempertahankan struktur suatu kelompok tertentu.

Seperti halnya Simmel, Coser tidak mencoba menghasilkan teori menyeluruh yang mencakup seluruh fenomena sosial. Karena ia yakin bahwa setiap usaha untuk menghasilkan suatu teori sosial menyeluruh yang mencakup seluruh fenomena sosial adalah premature. Memang Simmel tidak pernah menghasilkan risalah sebesar Emile Durkheim, Max Weber atau Karl Marx.  Namun, Simmel mempertahankan pendapatnya bahwa sosiologi bekerja untuk menyempurnakan dan mengembangkan bentuk- bentuk atau konsep- konsep sosiologi dimana isi dunia empiris dapat ditempatkan.

Penjelasan tentang teori konflik Simmel sebagai berikut:
  • Simmel memandang pertikaian sebagai gejala yang tidak mungkin dihindari dalam masyarakat Struktur sosial dilihatnya sebagai gejala yang mencakup pelbagai proses asosiatif dan disosiatif yang tidak mungkin terpisah- pisahkan, namun dapat dibedakan dalam analisa.
  • Menurut Simmel konflik tunduk pada perubahan. Coser mengembangkan proposisi dan memperluas konsep Simmel tersebut dalam menggambarkan kondisi- kondisi di mana konflik secara positif membantu struktur sosial dan bila terjadi secara negatif akan memperlemah kerangka masyarakat.

Ikatan Kelompok Dan Pemeliharaan Fungsi-Fungsi Konflik Sosial

Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok.  Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial di sekelilingnya.

Seluruh fungsi positif konflik tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok yang sedang mengalami konflik dengan kelompok lain. Di dunia internasional kita dapat melihat bagaimana, apakah dalam bentuk tindakan militer atau di meja perundingan mampu menetapkan batas-batas geografis nasional. Dalam ruang lingkup yang lebih kecil, oleh karena konflik kelompok-kelompok baru dapat lahir dan mengembangkan identitas strukturalnya. Misalnya, pengesahan pemisahan gereja kaum tradisional (yang memepertahankan praktek- praktek ajaran Katolik Pra-Konsili Vatican II) dan Gereja Anglo- Katolik (yang berpisah dengan Gereja Episcopal mengenai masalah pentahbisan wanita). Perang yang terjadi bertahun- tahun yang terjadi di Timur Tengah telah memperkuat identitas kelompok Negara Arab dan Israel.


Katup Penyelamat

Katup penyelamat atau safety valve ialah salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial. “katup penyelamat” membiarkan luapan permusuhan tersalur tanpa menghancurkan seluruh struktur, konflik membantu “membersihkan suasana”  dalam kelompok yang sedang kacau. 

Coser melihat katup penyelamat berfungsi sebagai jalan ke luar yang meredakan permusuhan, yang tanpa itu hubungan- hubungan di antara pihak-pihak yang bertentangan akan semakin menajam. Katup Penyelamat  ialah salah satu mekanisme khusus yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial. Katup penyelamat merupakan sebuah lembaga pengungkapan rasa tidak puas atas sebuah  sistem atau struktur. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Coser; lewat katup penyelamat itu, permusuhan dihambat agar tidak berpaling melawan obyek aslinya. Tetapi penggantian yang demikian mencakup juga biaya bagi sistem sosial maupun bagi individu: mengurangi tekanan untuk menyempurnakan sistem untuk memenuhi kondisi-kondisi yang sedang berubah maupun membendung ketegangan dalam diri individu, menciptaan kemungkinan tumbuhnya ledakan-ledakan destruktif.


Konflik Realistis Dan Non Realistis

Dalam membahas berbagai situasi konflik Coser membedakan konflik yang realistis dan yang tidak realistis.
  1. Konflik Realistis, berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan- tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan. Contohnya para karyawan yang mogok kerja agar tuntutan mereka berupa kenaikan upah atau gaji dinaikkan.
  2. Konflik Non- Realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan- tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Coser menjelaskan dalam masyarakat yang buta huruf pembasan dendam biasanya melalui ilmu gaib seperti teluh, santet dan lain- lain. Sebagaimana halnya masyarakat maju melakukan pengkambinghitaman sebagai pengganti ketidakmampuan melawan kelompok yang seharusnya menjadi lawan mereka.
Banyak individu kelas menengah dan kelas pekerja menunjukkan prasangka terhadap “orang-orang miskin penerima bantuan kesejahteraan sosial” (bumson welfare) melalui penyalahgunaan pajak pendapatan yang diperoleh dengan susah payah. Tetapi yang sebenarnya terjadi ialah bahwa sebagian besar pajak tersebut lebih banyak jatuh ke tangan kaum kaya dalam bentuk subsidi atau secara tidak langsung melalui pemotongan pajak, daripada dalam bentuk bantuan kesejahteraan bagi kaum miskin. 

Dengan demikian dalam satu situasi bisa terdapat elemen-elemen konflik dan non-realistis. Konflik realistis khususnya dapat diikuti oleh sentiment-sentimen yang secara emosional mengalami distorsi oleh karena pengungkapan ketegangan tidak mungkin terjadi dalam situasi konflik yang lain.


Permusuhan Dalam Hubungan-Hubungan Sosial Yang Intim

Menurut Coser terdapat kemungkinan seseorang terlibat dalam konflik reaistis tanpa sikap permusuhan atau agresif. Sebagai contoh adalah: Dua pengacara yang selama masih menjadi mahasiswa berteman erat. Kemudian setelah lulus dan menjadi pengacara dihadapkan pada suatu masalah yang menuntut mereka untuk saling berhadapan di meja hijau. Masing-masing secara agresif dan teliti melindungi kepentingan kliennya, tetapi setelah meniggalkan persidangan mereka melupakan perbedaan dan pergi ke restoran untuk membicarakan masa lalu. Contoh-contoh dimana konflik tidak diikuti oleh rasa permusuhan biasanya terdapat pada hubungan-hubungan yang bersifat parsial atau segmented, daripada hubungan yang melibatkan keseluruhan pribadi pada peserta.

Akan tetapi apabila konflik berkembang dalam hubungan- hubungan yang intim, maka pemisahan (antara konflik realistis dan non-realistis) akan lebih sulit untuk dipertahankan. Coser mennyatakan bahwa, semakin dekat suatu hubungan semakin besar rasa kasih saying yang sudah tertanam, sehingga semakin besar juga kecenderungan untuk menekan ketimbang mengungkapkan rasa permusuhan. Sedang pada hubungan- hubungan sekunder, seperti misalnya dengan rekan bisnis, rasa permusuhan dapat relatif bebas diungkapkan. Hal ini tidak selalu bisa terjadi dalam hubungan- hubungan primer dimana keterlibatan total para partisipan membuat pengungkapan perasaan yang demikian merupakan bahaya bagi hubungan tersebut. Apabila konflik tersebut benar- benar melampaui batas sehingga menyebabkan ledakan yang membahayakan hubungan tersebut. Contoh: Seperti konflik antara suami dan istri, serta konflik sepasang kekasih.


Isu Fungsionalitas Konflik

Coser Mengutip hasil pengamatan Simmel yang meredakan ketegangan yang terjadi dalam suatu kelompok. Dia menjelaskan bukti yang berasal dari hasil pengamatan terhadap masyarakat Yahudi bahwa peningkatan konflik kelompok dapat dihubungkan dengan peningkatan interaksi dengan masyarakat secara keseluruhan. Bila konflik dalam kelompok tidak ada, berarti menunjukkan lemahnya integrasi kelompok tersebut dengan masyarakat. 

Dalam struktur besar atau kecil konflik in-group merupakan indikator adanya suatu hubungan yang sehat. Coser sangat menentang para ahli sosiologi yang selalu melihat konflik hanya dalam pandangan negatif saja. Perbedaan merupakan peristiwa normal yang sebenarnya dapat memperkuat struktur sosial. Dengan demikian Coser menolak pandangan bahwa ketiadaan konflik sebagai indikator dari kekuatan dan kestabilan suatu hubungan.


Kondisi Yang Mempengaruhi Konflik Dengan Kelompok Luar Dan Struktur Kelompok

Coser menunjukkan bahwa konflik dengan kelompok-luar akan membantu pemantapan batas-batas struktural. Sebaliknya konflik dengan kelompok luar juga dapat mempertinggi integrasi di dalam kelompok. Coser (1956:92-93) berpendapat bahwa “tingkat konsensus kelompok sebelum konflik terjadi” merupakan hubungan timbal balik paling penting dalam konteks apakah konflik dapat mempertinggi kohesi kelompok.  Coser menegaskan bahwa kohesi sosial dalam kelompok mirip sekte itu tergantung pada penerimaan secara total selurh aspek-aspek kehidupan kelompok. Untuk kelangsungan hidupnya kelompok “mirip-sekte” dengan ikatan tangguh itu bisa tergantung pada musuh-musuh luar. Konflik dengan kelompok-kelompok lain bisa saja mempunyai dasar yang realistis, tetapi konflik ini sering (sebagaimana yang telah kita lihat dengan berbagai hubungan emosional yang intim) berdasar atas isu yang non-realistis. 

Coser mengutip berbagai contoh fenomena itu dari catatan-catatan historis mengenai kelahiran serta perkembangan serikat-serikat buruh. Akan tetapi contoh yang sama dapat diitemukan pada bangsa yang sedang berperang, pada kelahiran sekte keagamaan atau diantara kelompok-kelompok politik ekstrim di suatu Negara. Sementara kontroversi internal tidak dapat ditolerir, misalnya di antara kelompok-kelompok keagamaan mirip sekte seperti “The Children of God”, perjuangan kelompok tersebut melawan kaum kafir mungkin memperkuat kemampuannya untuk menarik serta memperahankan orang-orang yang baru masuk agamanya. Bilamana perjuangan yang membawa kelompok demikian untuk memperhatikan media perkabaran tiba-tiba terhenti, Coser mengatakan musuh-musuh baru mungkin mencoba untuk lebih memperkuat perkembangan dan peningkaan kohesi kelompok-kelompok yang demikian tak hanya mencapai identitas struktural lewat oposisi dengan berbagai kelompok luar tetapi dalam perjuangannya juga mengalami peningkatan integrasi dan kohesi. 

Bilamana contoh tentang “The Children of God” itu dilanjutkan maka kita dapat melihat penjelasan dari proposisi yang berhubungan dengan ideology dan konflik. Para anggota sekte terebut sering digambarkan sebagai kelompok fanatik. Singkatnya, bilamana terdapat consensus dasar mengenai nilai-nilai inti yang ada dalam suatu kelompok maka konflik dengan berbagai out-groups dapat memperkuat kohesi internal suatu kelompok. Coser menyatakan bahwa kelompok-kelompok pejuang yang diorganisir secara kaku mencari musuh demi mempermudah kesatuan dan kohesi mereka. 

Dengan demikian jelas bahwa fungsionalisme tahun 1950-an, yang terfokus pada masalah integrasi, telah mengabaikan isu konflik di dalam masyarkat. Pendekatan ini cenderung melihat konflik bersifat mersak dan memecahbelah. Coser menunjukkan bahwa konflik dapat merupakan sarana bagi keseimbangan kekuatan, dan lewat sarana demikian kelompok-kelompok kepentingan melangsungkan masyarakat. 


Kritik Terhadap Strukturalisme Konflik

Walaupun Coser kadang-kadang ditempatkan di dalam satu paradigma yang berbeda dari kaum fungsionalis struktural lainnya, tetapi lewat kajian cermat atas karyanya terlihat bahwa Coser tetap memiliki komitmen dengan pandangan teoritis yang utama. Sumbangan Coser pada teori yang tetap terikat pada tradisi fungsionalisme itu, walaupun tidak seketat model naturalis, dapat dilihat dari asumsi-asumsi dasar tentang manusia dan masyarakat yang implicit tercakup dalam teorinya. Coser mengatakan bahwa dia lebih menganggap teori konflik sebagai teori parsial daripada sebagai pendekatan yang dapat menjelaskan seluruh realitas sosial. Dia sependapat dengan Robin William yang menyatakan “masyarakat aktual terjalin bersama oleh konsensus, oleh saling ketergantungan, oleh sosiabilitas dan oleh paksaan. Tugas yang sesungguhnya ialah menunjukkan bagaimana berbagai proses serta struktur sosial aktual yang berjalan di sana dapat diramalkan dan dijelaskan. Pandangan Coser tentang teori sosiologis adalah suatu kesatuan pandangan yang mencakup teori-teori konflik maupun konsensus  yang parsial. Teori-teori parsial demikian itu merangsang para pengamat sehingga peka terhadap satu atau lebih perangkat data yang relevan bagi penjelasan teoritis yang menyeluruh. 

Dalam tradisi Durkheim, yang menekankan bahwa untuk menjelaskan fakta sosial, sosiologi harus menggunakan fakt-fakta sosial lainnya, Coser mengetengahkan kebutuhan teori sosiologis yang menggunakan indikator obyektif untuk menjelaskan realitas sosial. Bagi Coser realitas bukan merupakan realitas subyektif seperti rumusan Charles Horon Cooley atau George Herbert Mead, tetapi realitas obyektif seperti yang dimaksud oleh Durkheim dan kaum fungsionalisme lainnya. Dengan demikian orang dihambat oleh kekuatan struktur sosial yang membatasi kebebasan dan kreativitas. 

Jelaslah bagi Coser maupun kaum fungsionalisme struktural bahwa struktur sosial ada di dalam dirinya sendiri dan bergerak sebagai kendala. Coser mengungkapkan “sosiologi konflik harus mencari nilai-nilai serta kepentingan-kepentingan yang tertanam secara struktural sehingga membuat manusia saling terlibat dalam konflik, bilamana ia tidak ingin larutkan kedalam penjelasan psikologis mengenai agresivitas bawaan, dosa turunan, atau kebengalan manusia. Apa yang disumbangkan Coser kepada orientasi fungsionalisme ialah deskripsi mengenai bagaimana struktur-struktur sosial itu dapat merupakan produk konflik dan bagaimana mereka dipertahankan oleh konflik. Proposisinya sebagian besar berkisar di seputar intensitas dan fungsi konflik bagi lembaga-lembaga sosial.

Walaupun Coser terikat pada kesatuan teori masyrakat yang ilmiah, tetapi dia menolak setiap gerakan kearah naturalism atau determinisme yang ekstrim pada setiap tindakan manusia. Pendekatan ini terlihat dalam orientasi metodologisnya yang bebas menggunakan sejarah sebagai sumber data untuk mendukung pernyataan-pernyataan teoritisnya. Seperti banyak karya-karya yang disebut sebagai teori dalam sosiologi, karya Coser juga mengandung kelemahan-kelemahan metodologis.

Minggu, 06 November 2011

TEORI SISTEM


Teori sistem dipetakan oleh George Ritzer pada paradigma fakta sosial. Maksudnya adalah penggunaan teori ini dikhususkan pada masalah-masalah sosial yang berkaitan dengan nilai-nilai, institusi/pranata-pranata sosial yang mengatur dan menyelenggarakan eksistensi kehidupan bermasyarakat. Sistem sendiri merupakan suatu kesatuan dari elemen-elemen fungsi yang beragam, saling berhubungan dan membentuk pola yang mapan. Hubungan antara elemen-elemen sosial tersebut adalah hubungan timbal-balik atau hubungan dua arah..

Sebagai contoh, misalnya masalah hukum adat yang mempengaruhi segi kehidupan ekonomi masyarakat atau nelayan tradisional, atau lebih konkrit lagi misalnya bila kita ingin mengetahui bagaimana pengaruh dari nilai-nilai dalam hukum adat "nedosa" terhadap persepsi masyarakat tentang perkawinan dalam masyarakat adat Sangihe, sehingga dengan adanya fenomena dalam satu aspek akan mempengaruhi aspek-aspek lainnya dalam kehidupan bermasyarakat. Masih banyak permasalahan sosial, politik, ekonomi, pendidikan, dsb yang dapat dikaji dengan menggunakan teori sistem.

Pengaruh-pengaruh yang saya kemukakan di atas, senantiasa dapat diukur daya determinasinya, sehingga dapat diketahui pada aspek mana pengaruh itu menjadi dominan. Oleh sebab itu metode menjadi sangat penting relevansinya dalam mengungkap tingkat hubungan. Sebagaimana pendapat Ritzer, metode yang digunakan dalam bedahan teori sistem adalah metode kuisioner. Metode ini tergolong dalam jenis penelitian kuantitatif. Itulah sebabnya para sosiolog, bilamana menerapkan teori sistem, maka penelitiannya identik menggunakan pendekatan kuantitatif.

Orang yang paling giat mengembangkan teori sistem adalah Niklas Luhman dan Kenneth Bailey. Keduanya hidup pada abad 20. Sebelum kedua ilmuwan di atas, pemikir lainnya yang membicarakan sistem adalah Walter Buckley (1967) melalui karyanya yang berjudul: Sociology and Modern Systems Theory. (Ritzer & Goodman, 2009:351).

Menurut Buckley, ada beberapa manfaat menggunakan teori sistem, yakni:
  1. Dapat diterapkan pada semua ilmu perilaku dan ilmu sosial
  2. Memiliki beragam level yg dapat diterapkan pada semua skala terbesar sampai skala terkecil atau yang paling objektif sampai yang paling subjektif.
  3. Membahas beragam hubungan antar aspek sosial, tidak parsial.
  4. Keseluruhan aspek dipandang dalam konteks proses khususnya terkait dengan jaringan informasi dan komunikasi.
  5. Bersifat integratif.   
Buckley memperkenalkan tiga jenis sistem, yaitu: 1) Sistem sosial budaya, 2) Sistem mekanis dan 3) Sistem organis. Dalam sistem mekanis, kesalingketerkaitan antar bagian didasarkan pada transfer energi, dalam sistem organis kesalingketerkaitan antar bagian lebih didasarkan pada pertukaran informasi ketimbang
pertukaran energi. Dalam sistem sosial budaya, kesalingketerkaitan lebih didasarkan pada pertukaran informasi.

Dalam memahami sistem sosial, dikenal dua pendekatan, yaitu: 1) Pendekatan sibernetis dan 2) Pendekatan Ekuilibrium. Umpan balik merupakan aspek esensial dari pendekatan sibernetis. Friksi, pertumbuhan, evolusi dan perubahan sosial dapat dipelajari dengan pendekatan sistem sibernetis. Sedangkan keseimbangan fungsi merupakan esensi dasar pendekatan ekuilibrium.

Teori sistem mengenal dua konsep krusial yaitu: entropi dan negentropi. Entropi adalah kecenderungan sistem berhenti bekerja dan negentropi adalah kecenderungan sistem pada struktur yang lebih besar. Sistem dalam suatau masyarakat yang tertutup cenderung entropis, sementara sistem pada masyarakat yang terbuka cenderung negentropis. 

Talcott Parson mengemukakan bahwa sistem mengandaikan adanya kesatuan antara bagian-bagian yang berhubungan satu dengan yang lain untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Untuk mempelajari tindakan sosial, maka Parson mendefenisikan empat sistem tindakan, sebagai berikut:
  1. Sistem budaya, disebut juga sistem simbolik yang menganalisis "arti", seperti kepercayaan, agama, bahasa dan nilai-nilai dan konsep sosialisasi. Sosialisasi mempunyai kekuatan integratif yang sangat tinggi dalam mempertahankan kontrol sosial dan keutuhan masyarakat.
  2. Sistem sosial, yang memandang masyarakat berada dalam interaksi berdasarkan peran. Sistem sosial selalu terarah pada ekuilibrium.
  3. Sistem kepribadian, kesatuan yang paling kecil dipelajari adalah individu yang menjadi aktor. Fokus kajian disini adalah kebutuhan, motif dan sikap.
  4. Sistem organisme, kesatuan yang mendasar pada sistem ini adalah manusia dalam arti biologis dan lingkungan fisik dimana manusia itu hidup, juga sistem syaraf yang berkaitan dengan kegiatan motorik dan sistem organ manusia.
 Teori Parson di atas dikembangkan oleh Luhmann yang dikenal dengan Teori Sistem Umum (TSU), sambil mengkritik beberapa hal yang sangat prinsip.



BAHAN BACAAN:
  1. George Ritzer dan Douglas Goodman, 2009; Teori Sosiologi Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perekembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern, Kreasi Wacana, Jogjakarta.
  2. Bernard Raho, 2007; Teori Sosiologi Modern, Prestasi Pustaka Publisher
  3. George Ritzer, 2009; Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, PT RajaGrafindo Persada.

 

Minggu, 09 Oktober 2011

Teori Pertukaran Sosial

Teori pertukaran sosial menyatakan bahwa dalam hubungan sosial terdapat unsur ganjaran, pengorbanan, dan keuntungan yang saling mempengaruhi. Teori ini menjelaskan bagaimana manusia memandang hubungan kita dengan orang lain sesuai dengan anggapan diri manusia tersebut terhadap: 1) Keseimbangan antara apa yang di berikan ke dalam hubungan dan apa yang dikeluarkan dari hubungan itu, 2) Jenis hubungan yang dilakukan, dan 3) Kesempatan memiliki hubungan yang lebih baik dengan orang lain.


Pada umumnya,hubungan sosial terdiri daripada masyarakat, maka kita dan masyarakat lain di lihat mempunyai perilaku yang saling memengaruhi dalam hubungan tersebut,yang terdapat unsur ganjaran, pengorbanan dan keuntungan. Ganjaran merupakan segala hal yang diperolehi melalui adanya pengorbanan,manakala pengorbanan merupakan semua hal yang dihindarkan, dan keuntungan adalah ganjaran dikurangi oleh pengorbanan. Jadi perilaku sosial terdiri atas pertukaran paling sedikit antara dua orang berdasarkan perhitungan untung-rugi. Misalnya, pola-pola perilaku di tempat kerja, percintaan, perkawinan,dan persahabatan.

Analogi dari hal tersebut, pada suatu ketika anda merasa bahwa setiap teman anda yang di satu kelas selalu berusaha memperoleh sesuatu dari anda. Pada saat tersebut anda selalu memberikan apa yang teman anda butuhkan dari anda, akan tetapi hal sebaliknya justru terjadi ketika anda membutuhkan sesuatu dari teman anda. Setiap individu menjalin pertemanan tentunya mempunyai tujuan untuk saling memperhatikan satu sama lain. Individu tersebut pasti diharapkan untuk berbuat sesuatu bagi sesamanya, saling membantu jikalau dibutuhkan, dan saling memberikan dukungan dikala sedih. Akan tetapi mempertahankan hubungan persahabatan itu juga membutuhkan biaya (cost) tertentu, seperti hilang waktu dan energi serta kegiatan-kegiatan lainnya yang tidak jadi dilaksanakan. Meskipun biaya-biaya ini tidak dilihat sebagai sesuatu hal yang mahal atau membebani ketika dipandang dari sudut penghargaan (reward) yang didapatkan dari persahabatan tersebut. namun, biaya tersebut harus dipertimbangkan apabila kita menganalisa secara obyektif hubungan-hubungan transaksi yang ada dalam persahabatan. Apabila biaya yang dikeluarkan terlihat tidak sesuai dengan imbalannya, yang terjadi justru perasaan tidak enak di pihak yang merasa bahwa imbalan yang diterima itu terlalu rendah dibandingkan dengan biaya atau pengorbanan yang sudah diberikan.

Sumber:

Deskripsi di atas dari artikel Wikipedia Teori pertukaran sosial, berlisensi CC-BY-SA, daftar lengkap kontributor di sini. Halaman Komunitas tidak tergabung dengan, atau didukung oleh, siapa pun yang terkait dengan topik tersebut.

Selasa, 30 November 2010

TEORI BIROKRASI

Birokrasi dalam Bahasa Inggris disebut sebagai Bureaucracy, berasal dari kata bureau yang berarti meja dan cratein yang berarti kekuasaan. Dengan demikian Bureaucracy dapat diartikan sebagai kekuasaan berada pada orang-orang yang di belakang meja. (Rahman, 2007 : 169).

Selanjutnya Rahman mengutip beberapa definisi para ahli, antara lain Bintoro Tjokroamidjojo yang mengatakan bahwa birokrasi dimaksudkan untuk mengorganisir secara teratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh banyak orang. Sedangkan Blau dan Page mengemukakan birokrasi sebagai tipe dari suatu organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas administrative yang besar dengan cara mengkoordinir secara sistematis pekerjaan dari banyak orang. Sementara Ismani mengutip pendapat Mouzelis yang mengemukakan bahwa dalam birokrasi terdapat aturan-aturan yang rasional, struktur organisasi dan proses berdasarkan pengetahuan teknis dan dengan efesiensi yang setinggi-tingginya. Begitu pula dengan Bintoro Tjokroamidjojo yang mengutip pendapat Frits Morstein Marx yang mengemukakan bahwa birokrasi adalah tipe organisasi yang dipergunakan pemerintahan modern untuk pelaksanaan berbagai tugas-tugas yang bersifat spesialisasi, dilaksanakan dalam system administrasi yang khususnya oleh aparatur pemerintahan.

Pendapat yang lain dikemukakan oleh Dwijowijoyo dengan mengutip pendapat Blau dan Meyer yang menjelaskan bahwa birokrasi adalah suatu lembaga yang sangat kuat dengan kemampuan untuk meningkatkan kapasitas-kapasitas potensial terhadap hal-hal yang baik maupun buruk dalam keberadaannya sebagai instrument adminsitrasi rasional yang netral pada skala yang besar. Akhirnya disimpulkan Rahman bahwa birokrasi adalah suatu prosedur yang efektif dan efesien yang didasari oleh teori dan aturan yang berlaku serta memiliki spesialisasi menurut tujuan yang telah ditetapkan oleh organisasi/institusi. (Rahman, 2007 : 169-170).

Dalam buku yang ketiga The Division of Labour in Society (1863/1964), dia menganalisa ikatan-ikatan social pada masyarakat modern. Dalam masyarakat primitif ikatan sosial itu adalah kesadaran kolektif yang disebut solidaritas mekanik. Sedangkan dalam masyarakat modern yang ditandai oleh patologi akibat pembagian kerja yang sangat ketat hampir tidak ditemukan kesadaran kolektif seperti pada masyarakat primitif. Guna menjaga kestabilan masyarakat tidak perlu ada revolusi tetapi hukum-hukum atau norma-norma yang mengatur kehidupan bersama. (Raho, 2007:27).

Selain itu penulis juga melandasi analisa teoritis pada teori Birokrasi yang dicetuskan oleh Max Weber. Weber, dalam analisanya tentang birokrasi, mengemukakan beberapa bentuk wewenang di dalam hubungan kekuasaan. (Kerebungu: 2008 : 142). Ketiga wewenang dimaksud adalah wewenang tradisional yang didasarkan atas tradisi, wewenang karismatik yang didasarkan pada ciri kepribadian pemimpin, dan wewenang rasional yang didasarkan pada prinsip the right man on right place.

Gagasan Birokrasi Weber yang dikutip Tjokroamidjojo dalam Rahman (2007 : 171 – 172) mengemukakan ciri-ciri utama struktur birokrasi dalam tipe idealnya adalah:

  1. Prinsip Pembagian Kerja. Kegiatan-kegiatan regular yang diperlukan untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi dibagi dalam cara-cara tertentu sebagai tugas-tugas jabatan. Dengan adanya prinsip pembagian kerja yang jelas ini dimungkinkan pelaksanaan pekerjaan oleh tenaga-tenaga spesialisasi dalam setiap jabatan, sehingga pekerjaan akan dapat dilaksanakan dengan tanggungjawab penuh dan efektif.
  2. Struktur Hierarkis. Pengorganisasian jabatan-jabatan mengikuti prinsip hierarkis, yaitu jabatan yang lebih rendah berada di bawah pengawasan atau pimpinan dari jabatan yang lebih atas. Pejabat yang lebih rendah kedudukannya harus mempertanggungjawabkan setiap keputusannya kepada pejabat atasannya.
  3. Aturan dan Prosedur. Pelaksanaan kegiatan didasarkan pada suatu system peraturan yang konsisten. Sistem standar tersebut dimaksudkan untuk menjamin adanya keseragaman pelaksanaan setiap tugas dan kegiatan tanpa melihat pada jumlah orang yang terlibat di dalamnya.
  4. Prinsip Netral. Pejabat yang ideal dalam suatu birokrasi melaksanakan kewajiban dalam semangat formil non pribadi (formalistic impersonality), artinya tanpa perasaan simpati atau tidak simpati. Dalam prinsip ini, seorang pejabat dalam menjalankan tugas jabatannya terlepas dari pandangan yang bersifat pribadi. Dengan menghilangkan pertimbangan yang bersifat pribadi dalam urusan jabatan, berarti suatu pra kondisi untuk bersikap tidak memihak dan juga untuk efesiensi.
  5. Penempatan Didasarkan Atas Karier. Penempatan kerja seorang pegawai didasarkan pada kualfikasi teknis dan dilindungi terhadap pemberhentian sewenang-wenang. Dalam suatu organisasi birokrasi penempatan kerja seorang pegawai didasarkan atas karier. Ada system promosi, entah atas dasar senioritas atau prestasi atau kedua-duanya. Kebijaksanaan kepegawaian demikian dimaksudkan untuk meningkatkan loyalitas kepada organisasi dan tumbuhnya “semangat korps” (esprit de corps) di antara para anggotanya.
  6. Birokrasi Murni. Pengalaman menunjukkan bahwa tipe birokrasi yang murni dari suatu organisasi administrasi dilihat dari segi teknis akan dapat memenuhi efesiensi tingkat tinggi. Mekanisme birokrasi yang berkembang sepenuhnya akan lebih efesien daripada organisasi yang tidak seperti itu atau yang tidak jelas birokrasinya.

Bahan Bacaan: 
  1. Rahman H.I, 2007, Sistem Politik Indonesia, Penerbit: Graha Ilmu, Yogjakarta
  2. Kerebungu Ferdinan, 2008, Teori Sosial Makro, Penerbit: Wineka Media, Malang




TEORI PERANAN


Peranan (role) merupakan proses dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, dia menjalankan suatu peranan. Perbedaan antara kedudukan dengan peranan adalah untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Keduanya tidak dapat dipisah-pisahkan karena yang satu tergantung pada yang lain dan sebaliknya.(Soekanto, 2009:212-213).

Levinson dalam Soekanto (2009:213) mengatakan peranan mencakup tiga hal, antara lain:

  1. Peranan meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peranan dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan bermasyarakat.
  2. Peranan merupakan suatu konsep tentang apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi.
  3. Peranan juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat.
Merton dalam Raho (2007 : 67) mengatakan bahwa peranan didefinisikan sebagai pola tingkah laku yang diharapkan masyarakat dari orang yang menduduki status tertentu. Sejumlah peran disebut sebagai perangkat peran (role-set). Dengan demikian perangkat peran adalah kelengkapan dari hubungan-hubungan berdasarkan peran yang dimiliki oleh orang karena menduduki status-status social khusus.

Wirutomo (1981 : 99 – 101) mengemukakan pendapat David Berry bahwa dalam peranan yang berhubungan dengan pekerjaan, seseorang diharapkan menjalankan kewajiban-kewajibannya yang berhubungan dengan peranan yang dipegangnya. Peranan didefinisikan sebagai seperangkat harapan-harapan yang dikenakan kepada individu yang menempati kedudukan social tertentu. Peranan ditentukan oleh norma-norma dalam masyarakat, maksudnya kita diwajibkan untuk melakukan hal-hal yang diharapkan masyarakat di dalam pekerjaan kita, di dalam keluarga dan di dalam peranan-peranan yang lain.

Selanjutnya dikatakan bahwa di dalam peranan terdapat dua macam harapan, yaitu: pertama, harapan-harapan dari masyarakat terhadap pemegang peran atau kewajiban-kewajiban dari pemegang peran, dan kedua harapan-harapan yang dimiliki oleh pemegang peran terhadap masyarakat atau terhadap orang-orang yang berhubungan dengannya dalam menjalankan peranannya atau kewajiban-kewajibannya. Dalam pandangan David Berry, peranan-peranan dapat dilihat sebagai bagian dari struktur masyarakat sehingga struktur masyarakat dapat dilihat sebagai pola-pola peranan yang saling berhubungan.


Referensi: 
Cohen Bruce J; tanpa tahun, Sosiologi Suatu Pengantar, penerbit Rineka Cipta.
Soerjono Soekanto; 2009, Sosiologi Suatu Pengantar, Edisi Baru, Rajawali Pers Jakarta  

Minggu, 13 Juni 2010

TEORI TIGA STADIA COMTE

Aguste Comte setelah mengamati dan mempelajari dengan seksama sistem sosial masyarakat Perancis, kemudian ia mengemukakan bahwa masyarakat memiliki intelektual yang berkembang dalam tiga stadium. Stadium pertama disebutkannya adalah "Stadium Theologis". Pada stadium ini, masyarakat memiliki karakteristik militeristik. Manusia yang hidup dalam masyarakat pada tingkatan ini cenderung patuh karena faktor "takut". Ketakutan pada kekuatan-kekuatan yang dianggap diluar batas kemampuan mereka. Ciri yang lain adalah ikatan kekeluargaan masih sangat kental, misalkan hidup bertetangga meskipun tidak berhubungan dari garis keturunan tetapi disatukan oleh sebuah perasaan sebagaimana bersaudara kandung. Perasaan-perasaan mendasar adalah kecintaan dan perssahabatan. Masyarakat yang hidup dalam satuan wilayah tertentu masih bersifat tertutup dan sulit berkembang, percaya tahyul dan menyukai cara-cara produksi tradisional serta condong konservatif dan anti perubahan. Peran para stakeholders sangat krusial guna menggalang partisipasi masyarakat untuk membangun komunitasnya.

Pada stadium kedua, yaitu "Stadium Metafisis", dimana intelektual masyarakat masih mengandung ciri-ciri kehidupan masyarakat pada stadium pertama yang militeristik, tetapi pressure yang dilakukan lebih diarahkan pada aspek pertahanan. Masyarakat berkembang sedikit lebih maju dalam mobilitas yang bersifat institusional. Mulai muncul aturan-aturan baru yang mengubah tatanan lama. Pada tataran tertentu sifat fundamental masyarakat akan mengarah pada rasa nasionalisme dan fanatisme yang tinggi. Aktivitas politik masyarakat cenderung liberal sehingga berimplikasi pada terlepasnya hubungan-hubungan yang telah mengikat lama.

Pada stadium ketiga, yaitu "Stadium Positivis", intelektual masyarakat berkembang dengan tingkat rasionalitas yang memadai untuk mengamati semua fenomena sosial dalam hubungan sebab akibat yang dapat diterangkan secara ilmiah berdasarkan penelitian. Pada stadium positivis inilah masyarakat sudah berada dalam keadaan melonggarnya nilai-nilai solidaritasnya. Tetapi disisi lain kemampuan intelektual setiap warga masyarakat berkembang sangat pesat, persaingan semakin ketat dan implikasi akhirnya terwujudlah masyarakat dengan sejumlah inovasi yang mampu menciptakan tatanan yang sangat kuat sebagai sebuah masyarakat industri. Setiap warga negara yang hidup dalam tahapan perkembangan intelektual yang ketiga ini tidak lagi berorientasi pada negara, tetapi orientasinya menjadi lebih universal untuk kepentingan seluruh umat manusia di dunia. Oleh Comte, pada stadium positivis ini masyarakat akan menemukan tujuan hidupnya yaitu kebahagiaannya.

Bilamana direlevansikan dengan kondisi masyarakat di Indonesia dewasa ini, tengah terjadi dualisme pertumbuhan pada intelektual masyarakatnya baik di kota maupun di desa-desa, maka dapatlah kita petakan masyarakat kita sedang berevolusi dari stadium metafisis ke stadium positivis. Beberapa karakteristik unik yang dapat kita jumpai dalam setiap fenomena sosial. Diantaranya adanya kepercayaan pada hal-hal transenden seperti kesaktian anak kecil yang dihinggapi roh-roh orang yang telah meninggal dan anak-anak yang memiliki kesaktian untuk menyembuhkan orang sakit setelah mendapat wangsit atau kekuatan dari batu yang dicelupkan kedalam air dan seketika mampu menyembuhkan sakit kronis.

Di satu sisi gerakan kaum neoliberal semakin tak terhindarkan dalam era globalisasi dewasa ini. Ketergantungan negara-negara yang sedang berkembang terhadap Bank Dunia maupun lembaga-lembaga keuangan dunia semacam IMF masih saja terjadi sedangkan inovasi-inovasi dalam negeri kurang diperhitungkan. Masyarakat Indonesia bersikap anti terhadap gerakan kaum neoliberal yang mestinya menandai terbangunnya karakteristik neoliberal dan semakin menggerogoti paham kerakyatan. Ada semacam resistensi yang besar di kalangan masyarakat Indonesia tentang konsepsi kerakyatan dan liberalisme yang lebih condong dipandang sebagai ancaman bagi jiwa dan urat nadi bangsa ini.

Tetapi hemat saya dengan berangkat dari pandangan Comte, kita bisa mengetahui bahwa masyarakat Indonesia tengah berada dalam posisi ambivalen yang dapat menghambat perkembangan menuju pada kemaslahatan hidup sebagai umat manusia. Hal inilah yang sangat mengganggu masyarakat untuk menentukan siapa yang hendak dipilih dan dipercayakan untuk memerintah. Hal ini pula yang membuat kita enggan beranjak dari stadium metafisis ke stadium positivis. Masih banyak perilaku masyarakat kita yang menghendaki segala hal dengan mudah dan instan. Masih banyak sekali terjadi korupsi dan sanksi hukum tidak kunjung menjadi jawaban untuk mengeliminirnya.

Menurut saya, satu-satunya jalan yang harus kita lakukan adalah mendorong seluruh elemen bangsa ini untuk meninggalkan cara-cara irrasionil, mulailah dengan melakukan pengkajian yang cermat terhadap semua fenomena dan mulailah terbuka untuk menerima perubahan, berpikir sistematis dan berbicara terbuka melalui teknologi yang tersedia. Pemerintah sekiranya dapat segera memperkuat sistem pendidikan nasional yang berakar pada nilai-nilai kemanusiaan dan rasionalitas berpikir. Para akademisi sekiranya dapat lebih giat menjadi peneliti masalah-masalah sosial dan non sosial untuk menemukan solusi agar masyarakat segera berkembang ke arah yang lebih positif. Semoga artikel ini bermanfaat dan dapat dikritisi.

Sabtu, 06 Februari 2010

TEORI KONFLIK DAN ALIRANNYA

Asumsi dasar teori konflik adalah memandang bahwa realitas sosial setiap masyarakat selalu berada dalam keadaan konflik yang tidak terelakan. Menurut para penganut teori konflik, masyarakat senantiasa dinamis. Dalam hal ini yang berbeda adalah penyebab konflik, intensitasnya dan dampak yang ditimbulkannya.

Kurang lebih terdapat empat aliran dalam perspektif konflik, yaitu:
  1. Marxian.Perintis aliran Marxian adalah Karl Marx sendiri. Landasan teorinya dibangun pada materialisme dan filsafat dialektika. Menurut Marx, materi menentukan ide. Marx banyak dipengaruhi oleh Hegel yang berguru pada Feuerbach. Pusat perhatian Marx dalam mengembangkan teorinya pada tingkat struktur sosial, bukan pada tingkat kenyataan sosial budaya, atau dengan kata lain: Marx tidak fokus pada kajian tentang cara individu menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik melainkan pada posisi individu dipengaruhi oleh interaksi sosial budaya yang berlandaskan pada materi.
  2. Neo Marxian. Aliran ini dipelopori oleh Max Horkheimer. Dasar pemikirannya berangkat dari pemikiran Marx. Hanya saja berbeda pada objek kajiannya, yaitu masalah-masalah sosial masyarakat industri modern. Dalam beberapa referensi, aliran ini disebut juga sebagai aliran teori kritis. Kajian teori kritik(s), memandang realitas sosial masyarakat dalam bentuk kritik atas setiap struktur masyarakat berdasarkan kriteria etik kemanusiaan dan berkehendak bebas. Teori ini bersifat emansipatoris hendak membebaskan manusia dari belenggu struktur yang tidak rasional, semacam kapitalisme, IPTEK, agama dan sebagainya. Selain Max Horkheimer, tokoh sosiologi beraliran kritis antara lain: Herbert Marcuse, Jurgen Habermas dan Nicolas Poulantzas yang mengemukakan aspek-aspek konflik kelas dalam masyarakat kapitalis dewasa ini.
  3. Non Marxian. Para ahli sosiologi yang tergolong dalam aliran Non Marxian antara lain Lewis A. Coser dan Ralph Dahrendorf. Ada juga yang menggolongkan Max Webber dan seluruh pengikutnya (Webberian) sebagai mereka yang menganut pandangan konflik tetapi Non Marxian. Jelaslah mereka yang beraliran Non Marxian bertentangan dengan aliran Marx dan Neo Marxian. Webber misalnya menegaskan bahwa dengan metode verstehen (memberi makna mendalam), maka setiap tindakan individu sangat menentukan sistem sosial. Jadi, dalam menerangkan fakta atau realitas sosial, faktor tindakan individu sangat menentukan.
  4. Hegemoni. Anthonio Gramsci adalah tokoh terkenal dalam aliran hegemoni. Pandangannya tentang realitas sosial sangat dipengaruhi oleh kerasnya kehidupan yang dialaminya. Pemikirannya tentang struktur sosial dapat dilihat dalam konsepnya tentang negara (masyarakat politik). Negara modern bukan saja terdiri dari pemerintah tetapi juga ada masyarakat politik yang termasuk di dalamnya adalah sarana-sarana pemerintah untuk menciptakan kepatuhan di antara sebagian masyarakat dan masyarakat sipil/civil society, yang meliputi: organisasi swasta seperti gereja, serikat-serikat buruh, sekolah-sekolah dan media massa.
Keempat aliran tersebut di atas bisa dibaca dalam referensi yang lain. Lebih mudah dicari bilamana kita mencari dalam buku-buku sosiologi makro, karena teori konflik digolongkan oleh Ritzer dalam Paradigma Fakta Sosial. Selamat melakukan elaborasi lanjut.